Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kisah Louw Djing Tie, Pendekar Shaolin di Tanah Jawa

Kemampuan silat Djing Tie tidak perlu diragukan lagi, suatu waktu Djing Tie pernah menghadapi serdadu Belanda yang menganggu kaum pribumi. Bahkan Djing Tie pernah berhadapan dengan 15 orang bersenjata, dan berhasil mengalahkannya. Djing Tie tutup usia di Parakan pada 1921 dalam usia 66 tahun, makamnya sempat dipindahkan dari kaki gunung Manden menuju puncak gunung. Temanggung, Jawa Tengah, 8 september 2012. TEMPO/Reza Maulana
Kemampuan silat Djing Tie tidak perlu diragukan lagi, suatu waktu Djing Tie pernah menghadapi serdadu Belanda yang menganggu kaum pribumi. Bahkan Djing Tie pernah berhadapan dengan 15 orang bersenjata, dan berhasil mengalahkannya. Djing Tie tutup usia di Parakan pada 1921 dalam usia 66 tahun, makamnya sempat dipindahkan dari kaki gunung Manden menuju puncak gunung. Temanggung, Jawa Tengah, 8 september 2012. TEMPO/Reza Maulana

14 Juli 2015 00:00 WIB

Rumah di jalan Demangan, Parakan, Jawa Tengah tempat Louw Djing Tie mengajar dan mendirikan perguruan silat Garuda Mas. Usai merantau Jakarta, Louw Djing Tie hijrah menuju  ke Semarang, Kendal, dan Ambarawa. Di Ambarawa, Djing Tie membuka perguruan silat secara diam-diam karena larangan ilmu bela diri dari pemerintah Hindia Belanda. Temanggung, Jawa Tengah, 8 september 2012. TEMPO/Reza Maulana
Rumah di jalan Demangan, Parakan, Jawa Tengah tempat Louw Djing Tie mengajar dan mendirikan perguruan silat Garuda Mas. Usai merantau Jakarta, Louw Djing Tie hijrah menuju ke Semarang, Kendal, dan Ambarawa. Di Ambarawa, Djing Tie membuka perguruan silat secara diam-diam karena larangan ilmu bela diri dari pemerintah Hindia Belanda. Temanggung, Jawa Tengah, 8 september 2012. TEMPO/Reza Maulana

14 Juli 2015 00:00 WIB

Setelah 15 tahun keluar-masuk padepokan, Djing Tie muda mencari penghidupan di Hok Ciu, ibu kota Hokkian. Kebetulan pemerintah mencari guru silat sebagai pelatih pasukan. Syaratnya, mampu mengalahkan jawara mereka. Namun naas dalam pertarungan tersebut Djing Tie membunuh lawannya, sehingga ia kabur sebagai buronan. Hingga akhirnya merantau sampai ke Indonesia, tepatnya mengadu nasib sebagai pedagang barang keliling di Toko Tiga, Glodok, Jakarta Barat. Temanggung, Jawa Tengah, 11 Juli 2015. TEMPO/Reza Maulana
Setelah 15 tahun keluar-masuk padepokan, Djing Tie muda mencari penghidupan di Hok Ciu, ibu kota Hokkian. Kebetulan pemerintah mencari guru silat sebagai pelatih pasukan. Syaratnya, mampu mengalahkan jawara mereka. Namun naas dalam pertarungan tersebut Djing Tie membunuh lawannya, sehingga ia kabur sebagai buronan. Hingga akhirnya merantau sampai ke Indonesia, tepatnya mengadu nasib sebagai pedagang barang keliling di Toko Tiga, Glodok, Jakarta Barat. Temanggung, Jawa Tengah, 11 Juli 2015. TEMPO/Reza Maulana

14 Juli 2015 00:00 WIB

Selain ilmu Shaolin  Louw Djing Tie, belajar kungfu dari Biauw Tjien, pendeta tua yang juga alumnus Shaolin. Dari guru tersebut, Djing Tie mendapat ilmu yang bisa menjadikan barang di sekitar sebagai senjata, mulai melempar uang logam dan jangka, meniup jarum dan kacang hijau hingga menancap di tembok, sampai tipu muslihat dengan selendang pengikat pinggang, jika dilempar, orang seperti melihat ular. Temanggung, Jawa Tengah, 11 Juli 2015. TEMPO/Reza Maulana
Selain ilmu Shaolin Louw Djing Tie, belajar kungfu dari Biauw Tjien, pendeta tua yang juga alumnus Shaolin. Dari guru tersebut, Djing Tie mendapat ilmu yang bisa menjadikan barang di sekitar sebagai senjata, mulai melempar uang logam dan jangka, meniup jarum dan kacang hijau hingga menancap di tembok, sampai tipu muslihat dengan selendang pengikat pinggang, jika dilempar, orang seperti melihat ular. Temanggung, Jawa Tengah, 11 Juli 2015. TEMPO/Reza Maulana

14 Juli 2015 00:00 WIB

Makam Louw Djing Tie yang terletak di  Parakan, Temanggung kota di kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah, 120 kilometer barat laut Yogyakarta, Kisah Louw Djing Tie berawal dari tempat kelahirannya di Kampung Khee Thao Kee dekat Kota Hayting, Hokkian, Cina, sekitar tahun 1855. Memiliki bakat dalam ilmu beladiri, sehingga sang kakak mengirimnya ke perguruan shaolin.  Temanggung, Jawa Tengah, 11 Juli 2015. TEMPO/Reza Maulana
Makam Louw Djing Tie yang terletak di Parakan, Temanggung kota di kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah, 120 kilometer barat laut Yogyakarta, Kisah Louw Djing Tie berawal dari tempat kelahirannya di Kampung Khee Thao Kee dekat Kota Hayting, Hokkian, Cina, sekitar tahun 1855. Memiliki bakat dalam ilmu beladiri, sehingga sang kakak mengirimnya ke perguruan shaolin. Temanggung, Jawa Tengah, 11 Juli 2015. TEMPO/Reza Maulana

14 Juli 2015 00:00 WIB

Louw Djing Tie, seorang pendekar kungfu Shaolin legenda seperti si Pitung di Jakarta. Berbekal kungfu dari Shaolin, Djing Tie menolong banyak orang miskin yang ditindas di beberapa kota di Jawa Tengah. Kisah Djing Tie, pertama kali ditulis oleh Tjiu Khing Soei dengan judul Garuda Mas dari Cabang Siauw Lim, terbitan Semarang, pada akhir 1920-an. TEMPO/Reza Maulana
Louw Djing Tie, seorang pendekar kungfu Shaolin legenda seperti si Pitung di Jakarta. Berbekal kungfu dari Shaolin, Djing Tie menolong banyak orang miskin yang ditindas di beberapa kota di Jawa Tengah. Kisah Djing Tie, pertama kali ditulis oleh Tjiu Khing Soei dengan judul Garuda Mas dari Cabang Siauw Lim, terbitan Semarang, pada akhir 1920-an. TEMPO/Reza Maulana

14 Juli 2015 00:00 WIB